Sumber: freepik.com
Refleksi. Pernah ga, sih? Teman-teman berandai-andai perihal sesuatu yang telah terjadi. Bahkan, teman-teman seolah-olah berpikiran bahwa suatu kejadian dapat berjalan dengan baik—apabila tidak melakukan hal yang menurut kalian “salah”. Pada ke-gabutan hari ini, saya akan menulis artikel mengenai berandai-andai kejadian masa lampau. Akan tetapi, saya akan menulisnya dengan bahasa semi-formal—bahasa gaul sih wkwkw.
Dulu, gua sering banget tuh berandai-andai. Jadi, kek
gini nih contohnya, “Coba dulu gua pas SNMPTN ngambil UPI Tasikmalaya di
pilihan satu, pasti lolos sih.” Wah, pede bener orangnya. Emang iya? Ya, ga
mungkin 100 % bakal lolos, sih. Pastinya akan ada kemungkinan ga lolos juga,
seperti jumlah pendaftarnya membludak, nilai para pendaftarnya tinggi-tinggi,
dan lain sebagainya. Nahhhh, setelah dipikir-pikir, hal ini pada dasarnya
adalah “pelindung” yang gua pakai agar terhindar dari rasa malu dan berusaha
meyakinkan orang lain bahwa “Gua bisa lolos, kalau seandainya pilih UPI
Tasikmalaya.”
Eitss, ternyata ada lagi nihh. Beberapa minggu yang
lalu, Gua coba buka buku Kitab Anti Bodoh karya Bo Bennet—buku yang gua
beli pas tahun 2018, tetapi baru dibuka sekarang. Dan ternyata, hal tersebut
termasuk ke dalam cacat logika spekulatif—hipotesis yang berlawanan dengan
fakta.
Menurut Bennet (2015, hlm. 219), hal ini adalah keadaan ketika kita berhipotesis yang berlawanan dengan fakta dan mengabaikan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Menurut beliau juga, bentuk logikanya sebagai berikut.
Apabila peristiwa A terjadi, pasti peristiwa B akan terjadi (spekulasi)
Tttapi, ada sebuah pengecualian dalam hal ini, yaitu dalam kasus sebuah koin. Koin hanya memiliki dua sisi. Misalnya pada uang koin 100 perak, ketika koin tersebut dilempar, maka hanya ada dua kemungkinan: angka 100 atau gambar garuda yang akan muncul di permukaan. Jadi, hal ini sangat bisa diprediksi sehingga tidak termasuk ke dalam cacat logika.
Okee, kita kembali lagi ke topik artikel. Sesuai dengan
apa yang gua singgung pada paragraf satu, berandai-andai menjadi suatu
pelindung atas kegagalan atau ketidaksesuaian yang gua ekspektasikan sebelumnya.
Yaa ... begitulah. Pada awalnya, gua gabisa mengakui bahwa gua udah kalah dalam
“perang”. Perlahan-lahan, akhirnya gua
bisa mengakui kekalahan yang menimpa gua.
Bukan hanya mengakui sebuah kekalahan, gua juga sadar bahwa
kata-kata “pelindung” tersebut bakal ngehambat perkembangan diri. Sekarang pun, gua memilih buat fokus terhadap
perbaikan daripada kata-kata omong kosong seperti itu. Engga sepenuhnya, sih. Kadang-kadang, gatel juga buat ngucapin kata-kata “pelindung”, hahah.
Udah sih, cuma gitu aja. Btw, ini adalah konten
pertama gua mengenai refleksi diri. Mungkin aja, teman-teman juga bisa belajar
dari pengalaman yang udah gua tuliskan di atas. Makasi udah baca ampe abis, gua
sangat menerima berbagai kritik dan saran dari teman-teman pembaca—bisa disampaikan
melalui komentar atau kolom hubungi saya. Semoga, kita semua sehat dan bahagia
selalu!
RUJUKAN
Bennet, B. (2015). Kitab Anti Bodoh. Cetakan 1,
Jakarta: Serambi.